Konsep umum pengawasan penahanan pra-persidangan

SUDUT HUKUM | Munculnya konsep praperadilan tak bisa lepas dari sejarah panjang perlunya pengawasan peradilan yang ketat (strict judicial scrutiny) terhadap semua tindakan perampasan kebebasan sipil seseorang. Konsep ini mengemuka pertama kali ketika Inggris mencetuskan Magna Charta pada tahun 1215, yang lahir sebagai kritik atas kesewenang-wenangan raja saat itu.
Meski kelahiran konsep Magna Charta bertujuan membatasi kekuasaan raja, namun di dalamnya terdapat gagasan bahwa HAM lebih penting daripada kekuasaan raja. Tak seorang warga negara dapat ditahan, atau dirampas harta kekayaannya, atau diasingkan, atau dengan cara apapun dikebiri hak-haknya kecuali dengan pertimbangan hukum. Konsepsi ini selanjutnya dikenal dengan terma habeas corpus’. Paradigma absolutisme raja bergeser ke arah kedaulatan rakyat, setelah sekian lama dikekang oleh raja, dia luluh oleh sentuhan aliran rasionalisme.
Merujuk pada sejarahnya, habeas corpus muncul dari prinsip dasar bahwa pemerintah harus selalu tunduk pada hukum. Karenanya, hukum ditafsirkan dan diterapkan oleh hakim. Konsep ini kemudian diformalkan oleh parlemen Inggris pada abad ke 17. Pasca-lahirnya habeas corpus, penangkapan dan penahanan yang dilakukan harus dilengkapi dengan surat perintah dari pengadilan, yang dikeluarkan atas nama raja, dan ditujukan ke pejabat kerajaan tertentu. Surat perintah ini memiliki subpoena.
Pentingnya habeas corpus kembali ditegaskan dalam Konstitusi Amerika Serikat pada abad ke 18. Amandemen pertama konstitusi Amerika Serikat menyatakan bahwa pengadilan harus tegas mengawasi semua kasus yang memiliki dampak nyata dan cukup besar atau gangguan yang signifikan dengan pelaksanaan hak-hak fundamental seseorang (kebebasan sipil).
Penegasan serupa juga muncul di Perancis, bersamaan dengan Déclaration des droits de l’homme et du citoyen pada 1789, buah dari Revolusi Perancis. Terinspirasi dari Habeas Corpus, deklarasi ini mengenal hak atas sûreté. Hak ini menjamin bahwa tidak seorang pun bisa ditangkap dan ditahan secara sewenang-wenang. Konsep hak atas sûreté ini yang kemudian diadopsi prosedur hukum pidana Perancis.
Sebelumnya, semasa kekuasaan Raja Louis XVI, pembentuk dan motor hukum adalah raja, karena ia mengidentifikasi dirinya sebagai negara—L’Etat c’est moi. Raja Louis XVI berperan secara massal menjadi hakim sekaligus penuntut. Struktur politik ini menjadi pencetus utama revolusi untuk menempatkan ulang hak-hak rakyat pada tempat yang asasi, yakni sebagai subjek hukum dan persamaan di depan hukum.
Mahkamah Agung Amerika Serikat menjelaskan habeas corpus sebagai, “a writ antecedent to statute, … throwing its root deep into the genius of our common law”. Klausul ini menjadi arus kuat dalam ideologi konstitusionalisme Amerika, khususnya terkait dengan hak atas pengadilan yang adil, bersanding dengan konsep due process of law.
The writ of habeas corpus atau dikenal juga sebagai “great writ of liberty” memungkinkan para hakim untuk menyelidiki keabsahan penahanan seorang tahanan, sehingga tidak ada warga yang kehilangan hidup, kebebasan, atau properti tanpa proses hukum.25 Habeas corpus terpisah dari kasus pidana dan berbentuk gugatan perdata (proses nonkriminal). Proses ini meninjau konstitusionalitas penahanan seseorang—pemohon, proses ini di Amerika Serikat dikenal sebagai collateral attack.
Paul Halliday mengatakan, habeas corpus sesungguhnya tidak didasarkan pada konsep modern hak individu, melainkan hak prerogatif kerajaan dan kebaikan dan belas kasihan raja. Dalam praktiknya konsep ini didasarkan pada perintah hakim terhadap institusi yang melakukan penahanan, untuk memeriksa apakah tindakan ini dilakukan secara benar.27Habeas Corpus dikeluarkan oleh institusi pengadilan melalui prosedur yang sederhana, langsung dan terbuka, sehingga dapat dipergunakan oleh siapapun.
Secara gramatikal, istilah habeas corpus berarti ‘menguasai diri orang’. Sederhananya konsep ini adalah upaya hukum untuk menentang penahanan seseorang. Pengertiannya dapat dilihat dari dua sisi, secara materil habeas corpus berarti ‘upaya hukum yang menentang penahanan seseorang’. Secara formil, habeas corpus diwujudkan dengan surat perintah pengadilan atau dikenal sebagai ‘great writ’.
Great writ merupakan cara menanyakan dan meninjau kembali keabsahan penahanan, kepada institusi/pihak yang sedang menahan seseorang. Surat perintah habeas corpus berisi, “Si tahanan berada dalam penguasaan saudara. Saudara wajib membawa orang itu di depan pengadilan serta wajib menunjukan alasan yang menyebabkan penahanannya”.
Habeas corpus tidak menciptakan hak hukum substantif, melainkan memberikan pemulihan atas pelanggaran hak-hak hukum atau atas tindakan mengabaikan kewajiban hukum. Dengan kata lain, habeas corpus adalah mekanisme prosedural penegakan hukum atas hak dan kewajiban yang diberikan, dikenakan, atau diakui pada otoritas lainnya—peradilan terhadap penyidikan. Habeas corpus menekankan pentingnya perintah pengadilan untuk membawa tahanan ke pengadilan guna tujuan peradilan.
Dalam perkembangannya, terma habeas corpus diadopsi oleh banyak negara-negara di dunia, baik yang menganut sistem common law maupun civil law. Perbedaan sistem ini tentu melahirkan banyak varian habeas corpus. Salah satunya Indonesia yang menerjemahkan habeas corpus menjadi praperadilan.
Pendapat Steven Semeraro bisa digunakan untuk memahami varian habeas corpus, yang penekanannya pada pengawasan peradilan. Menurut Semeraro, ada dua teori yang menjelaskan perubahan doktrin habeas corpus. Pertama, teori ‘kekuasaan judicial’ (the judicial-power theory), yang menafsirkan surat perintah sebagai perangkat yang digunakan untuk menegakkan otoritas pengadilan guna menyatakan hukum ketika hakim yang lebih rendah posisinya, menentang atau meremehkan kekuatan pengadilan tersebut.
Teori kedua berfokus pada ideologi terkait dengan surat perintah. Sejarah habeas corpus umumnya menafsirkan doktrin perubahan sebagai respon terhadap faktor sosial dan politik eksternal yang independen untuk sistem hukum. Penafsiran ini menjadi kebutuhan-respon hipotesis pembangunan doktrinal yang benar pada tingkat tertentu, meski tidak lengkap. Oleh karena itu, untuk memahami perkembangan doktrin habeas corpus, harus juga dipertimbangkan sejauh mana ajaran itu dan ideologi sekitarnya, membantu menciptakan perubahan dalam masyarakat, politik, dan hukum itu sendiri. Teori kedua dari Semeraro ini bisa menjadi pembenar atas adopsi konsep habeas corpus di Indonesia yang diwujudkan dalam mekanisme praperadilan.