Budaya Malu Langka, Korupsi Merajalela

Budaya malu harus mulai ditanamkan sejak taman kanak-kanak.



Korupsi sudah membudaya”. Anda mungkin pernah mendengar frasa yang pernah dilontarkan oleh salah seorang Tokoh Proklamator, Mohammad Hatta ini. Frasa ini mengundang pro dan kontra. Sekretaris Komisi Hukum Nasional (KHN), Prof. JE Sahetapy termasuk yang kontra.


“Namun, hati nurani saya, terlepas dari adanya Undang-undang Korupsi, tidak setuju kalau dikatakan bahwa korupsi sudah membudaya,” ujar Sahetapy dalam acara Dialog Kepemimpinan Nasional “Membangun Budaya Malu”, 10 Juni lalu di Jakarta.





Meskipun tidak sepakat jika korupsi disebut telah membudaya, namun Sahetapy tidak memungkiri bahwa korupsi di Negeri ini sudah begitu merajalela. Korupsi, kata Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Airlangga ini, seolah-olah tidak mengenal batas, ruang dan waktu, terjadi di semua lapisan birokrasi pemerintahan di Indonesia.


Menurut Sahetapy, fenomena korupsi yang merajalela ini menandakan bahwa rasa bersalah dan malu seolah-olah tidak adalagi di dalam hati nurani orang-orang yang terlibat korupsi di Indonesia.


“Dalam konteks teori saya Sobural, yaitu akronim dari skala nilai sosial, aspek budaya dan faktor struktural masyarakat, seharusnya permasalahan korupsi ini harus dikupas dan ditelaah dari perspektif budaya,” paparnya.


Sahetapy mengatakan perilaku korupsi itu membungkam hati nurani sehingga si pelaku tidak hanya kehilangan rasa bersalah, tetapi juga rasa malu. Sahetapy mencontohkan ketiadaan rasa malu itu terlihat ketika seorang tersangka atau terdakwa korupsi masih sempat tersenyum.


“Meskipun Indonesia belum atau tidak memiliki Shame Culture dan atau Guilt Culture, saya anggap, terlepas dari seharusnya ada sikap ‘praduga tak bersalah’, sikap yang demikian sulit dapat ditolerir,” ujar Sahetapy.


Menurut Sahetapy, rasa malu harus ditanam pada diri setiap orang. Di lingkungan keluarga, ibu sebagai pendidik utama dapat berperan dalam menanamkan rasa malu. Rasa malu yang telah ditanam dari lingkungan keluarga itu lalu dipoles kembali di lingkungan sekolah.


“Masih dibutuhkan banyak penelitian namun langkah permulaan harus dimulai. Saya sadar bahwa mengubah kultur ke arah shame culture danguilt culturemembutuhkan waktu dari generasi ke generasi dan itu tidak mudah,” kata Sahetapy.


Di forum yang sama, Tokoh Pers Atmakusumah mengatakan hilangnya budaya malu sebenarnya tidak hanya terjadi di Indonesia saja. Di Australia, kata Atmakusumah, tengah ramai diperbincangkan tentang sulitnya membangun karakter manusia yang ideal.


“Kalau mengajarkan kemahiran membaca, menulis, berhitung kepada anak-anak cukup dengan waktu setengah atau satu tahun. Tapi untuk membangun karakter yang ideal, ternyata memerlukan waktu sedikitnya 15 tahun,” paparnya.


Atmakusumah berpendapat para pengelola pendidikan, para guru perlu diingatkan tentang betapa pentingnya memberikan pendidikan moral, pendidikan karakter yang baik. “Minimal dari taman kanak-kanak lah,” imbuhnya.


Menurut Atmakusumah, pembentukan karakter yang baik itu dapat berlandaskan pada

ajaran agama, filosofi, dan ideologi. Namun, dia tegaskan, agama harus menjadi pegangan utama.


Tokoh Agama, Romo Benny Susetyo berpendapat masyarakat Indonesia sebenarnya adalah masyarakat yang religius. Namun nyatanya, bagi sebagian masyarakat Indonesia, agama itu dianggap hanya sebagai aksesori semata. Agama menjadi suatu ritual sehingga tidak mempengaruhi cara berpikir, bertindak, bernalar seseorang



“Rasa malu hilang karena apa? Karena kita ada persoalan-persoalan yang menganggap semua itu dianggap wajar. Rasa malu itu terkait dengan hubungan bagaimana orang itu dihargai.” (hukumonline.com)