Bentuk Mahar

SUDUT HUKUM | Sebagaimana telah diungkapkan sebelumnya bahwa Mahar merupakan satu hak yang ditentukan oleh syariah untuk wanita sebagai ungkapan hasrat laki-laki pada calon istrinya, dan juga sebagai tanda cinta kasih serta ikatan tali kesucian. Maka mahar merupakan keharusan tidak boleh diabaikan oleh laki-laki untuk menghargai pinangannya dan simbol untuk menghormatinya serta membahagiakannya.


Mahar menunjukkan kebenaran dan kesungguhan cinta kasih lakilaki yang meminangnya. Ia merupakan bukti kebenaran ucapan laki-laki atas keinginannya untuk menjadi suami bagi orang yang dicintainya. Mahar bukanlah harga atas diri seorang wanita. Wanita tidak menjual dirinya dengan mahar. Tetapi, ia membuktikan kebenaran kesungguhan cinta, dan kasih sayang laki-laki yang bermaksud kepadanya dengan mahar.


suduthukum.com/2014/07/bentuk-mahar.html

Jadi makna mahar atau maskawin dalam sebuah pernikahan lebih dekat kapada syari’at agama dalam rangka menjaga kemuliaan peristiwa suci. Juga

sebagai ungkapan penghormatan seorang laki-laki kepada wanita yang menjadi istrinya. Memberikan mahar merupakan ungkapan tanggungjawab terhadap kepada Allah sebagai Asy-Syari’ (Pembuat Aturan) dan kepada wanita yang dinikahinya sebagai kawan seiring dalam meniti kehidupan berumahtangga.



Pada umumnya mahar itu dalam bentuk materi, baik berupa uang atau barang berharga lainnya. Namun syari’at Islam memungkinkan mahar itu dalam bentuk jasa melakukan sesuatu. Ini adalah pendapat yang dipegang oleh jumhur ulama’. Mahar dalam bentuk jasa ini ada landasannya dalam Al-Qur’an dan demikian pula dalam Sunnah Nabi. Contoh mahar dalam bentuk jasa dalam Al-Quran ialah menggembalakan kambing selama 8 tahun sebagai mahar perkawinan seorang perempuan.


Hal ini dikisahkan Allah dalam surat Al-Qashash ayat 27 yang berbunyi:

Artinya: “Berkatalah dia (Syu’aib): “Sesungguhnya Aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun Maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu “. (Q.S. Al-Qashash: 27)
Contoh lain adalah Nabi sendiri waktu menikahi Sofiyah yang waktu itu masih berstatus hamba dengan maharnya memerdekakan Sofiyah tersebut. Kemudian ia menjadi ummu al-mukminin. Ulama’ Hanafiyah berbeda pendapat dengan jumhur ulama’ dalam hal ini. Menurut ulama’ ini bila seorang laki-laki mengawini seorang perempuan dengan mahar memberikan pelayanan kepadanya atau mengajarinya Al-Qur’an, maka mahar itu batal dan oleh karenanya kewajiban suami adalah mahar mitsil.



Kalau mahar itu dalam bentuk uang atau barang berharga, maka Nabi menghendaki mahar itu dalam bentuk yang lebih sederhana. Hal ini tergambar dalam sabdanya dari `Uqbah bin Amir yang dikeluarkan oleh Abu Daud dan dikisahkan oleh Hakim. Ucapan Nabi:


خير الصداق أيسره


artinya: sebaik-baiknya mahar itu adalah yang paling mudah

Hal ini ditakan pula dengan hadis Nabi dari Sahal ibn Sa’ad yang dikeluarkan oleh Al-Hakim yang mengatakan: Bahwa Nabi Muhammad SAW pernah mengawinkan seoarang laki-laki denagan perempuan dengan maharnya sebentuk cincin dari besi.



Baik Al-Qur’an maupun hadis Nabi tidak memberikan petunjuk yang pasti dan spesifik bila yang dijadikan mahar itu adalah uang. Namun ayat Al-Qur’an ditemukan isyarat yang dapat dipahami nilai mahar itu cukup tinggi, seperti dalam firman Allah surat An-Nisa’ ayat: 20 sebagaimana sudah DIpaparka di atas.



Kata qinthar dengan ayat tersebut bernilai tinggi. Ada yang mengatakan 1200 uqiyah emas dan ada pula yang mengatakan 70.000 mitsqal. Namun ditemukan pula ayat Al-Qur’an yang dapat dipahami daripada nilai mahar itu tidak seberapa. Umpamanya, pada surat Al-Thalaq ayat : 7


Artinya: “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan”. (Q.S. Al-Thalaq: 7)


Demikian pula hadis Nabi ada yang menyebutkan nilai mahar yang tinggi seperti hadis Nabi dari Abu Salamah bin Abd Al-Rahman menurut riwayat Muslim. Abu Salamah berkata: saya bertanya kepada Aisyah istri Nabi tentang berapa mahar yang diberikan Nabi kepada istrinya. Aisyah berkata:


mahar Nabi untuk istrinya sebanyak 12 uqiyah dan satu nasy, tahukah kamu berapa satu nasy itu” saya jawab tidak”. Aisyah berkata: “nasy itu adalah setengah uqiyah. Jadinya sebanyak 500 dirham. Inilah banyak mahar Nabi untuk istrinya.


Dengan tidak adanya petunjuk yang pasti tentang mahar ulama’ memperbincangkannya, mereka sepakat menetapkan bahwa tidak ada batas


maksimal bagi sebuah mahar. Namun dalam batas minimalnya terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama’. Ulama’ Hanafiyah menetapakan batas minimal mahar sebanyak 10 dirham perak dan bila kurang dari itu tidak memadai dan oleh karenanya diwajibkan mahar mitsil, dengan pertimbangan bahwa itu batas minimal barang curian yang mewajibkan had terhadap pencurinya. Ulama’ Malikiyah berpendapat bahwa batas minimal mahar adalah 3 dirham perak atau seperempat dinar emas. Dalil bagi mereka juga adalah bandingan dari batas minimal harta yang dicuri yang mewajibkan had. Sedangkan ulama’ Syafi’iyah dan Hanabilah tidak memberikan batas minimal dengan arti apa pun yang bernilai dapat dijadikan mahar.