Pembelaan Terpaksa Melampaui Batas Menurut Hukum Pidana Islam

SUDUT HUKUM | (http://goo.gl/qoayVR)

FANPAGE FB: Klik disini


1. Pengertian Pembelaan Terpaksa Menurut Hukum Pidana Islam


a. Pengertian dif’a asy-syar’i (pembelaan syar‟i khusus) atau daf‟u as-sail (menolak penyerang atau pembelaan diri)

Menurut istilah yang dinamakan daf‟u as-sail (menolak penyerang/ pembelaan diri) adalah kewajiban manusia untuk menjaga dirinya atau jiwa orang lain, atau hak manusia untuk mempertahankan hartanya atau harta orang lain dari kekuatan yang lazim dari setiap pelanggaran dan penyerangan yang tidak sah. Penyerangan khusus baik yang bersifat wajib maupun hak bertujuan untuk menolak serangan, bukan sebagai hukuman atas serangan tersebut sebab pembelaan tersebut tidak membuat penjatuhan hukuman atas penyerang menjadi tertolak.


Pembelaan Terpaksa Melampaui Batas Menurut Hukum Pidana Islam
Dasar pembelaan diri dan menolak penyerangan, berdasarkan firman Allah SWT


“Barangsiapa yang menyerang kamu, Maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu.”

b. Hukum pembelaan diri


Para fuqaha telah sepakat berpendapat bahwa membela diri adalah suatu jalan yang sah untuk mempertahankan diri sendiri atau diri orang lain dari serangan terhadap jiwa, kehormatan dan harta benda. Tetapi berbeda atas hukumnya, apakah merupakan suatu kewajiban atau hak. Jadi, konsekuensinya apabila membela diri merupakan suatu hak, maka seseorang boleh memilih antara meninggalkan dan mengerjakannya, tetapi tidak berdosa dalam memilih salah satunya. Sebaliknya apabila dikatakan kewajiban maka seseorang tidak memiliki hak pilih dan berdosa ketika meninggalknnya.



Serangan seseorang adakalanya ditujukan kepada kehormatan jiwa atau harta benda. Untuk membela kehormatan, para ulama sepakat bahwa hukumnya adalah wajib. Apabila seorang laki-laki hendak memperkosa seorang perempuan sedangkan untuk mempertahankan kehormatannya tidak ada lagi kecuali membunuhnya maka perempuan tersebut wajib membunuhnya, demikian pula bagi yang menyaksikan.


Untuk membela jiwa para fuqaha berbeda pendapat mengenai hukumnya. Menurut mazhab Hanafi dan pendapat yang rajih dalam mazhab Maliki dan mazhab Syafi‟i membela jiwa hukumnya wajib. Sedangkan menurut pendapat yang marjuh(lemah) di dalam mazhab Maliki dan mazhab Syafi‟i serta pendapat yang rajih (kuat) di dalam mazhab Hanbali membela jiwa hukumnya jaiz (boleh) bukan wajib.

c. Serangan anak-anak, orang gila dan hewan

Imam Malik, Asy-Syafi‟i dan Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa jika seseorang diserang oleh anak-anak, orang gila dan hewan maka harus membela diri. Jadi, jika korban tidak memiliki cara lain untuk membela diri dari serangan mereka kecuali dengan membunuh, dan tidak bertanggungjawab baik secara pidana maupun perdata sebab korban hanya menunaikan kewajibannya untuk menolak serangan terhadap jiwanya.

Imam Abu Hanifah serta muridnya kecuali Abu Yusuf berpendapat bahwa orang yang diserang harus bertanggung jawab secara perdata yaitu dengan membayar diat atas anak-anak, orang gila dan harga binatang yang telah dibunuhnya. Alasannya adalah karena pembelaan diri dilakukan untuk menolak tindak pidana, padahal perbuatan anak-anak, orang gila dan hewan tidak dianggap sebagai tindak pidana karena binatang tidak berakal.

Abu Yusuf berpendapat bahwa orang yang diserang hanya bertanggungjawab atas harga hewan karena perbuatan anak kecil dan orang gila tetap dianggap sebagai tindak pidana. Meskipun penjatuhan hukuman atas keduanya dihapuskan karena keduanya tidak memiliki pengetahuan (kecakapan bertindak). Berdasarkan pendapat ini, dapat dikatakan bahwa menolak serangan anak kecil dan orang gila adalah dalam keadaan membela diri sedangkan menolak serangan hewan merupakan keadaan darurat yang memaksa. Alasan ulama yang mengatakan ditegakannya pembelaan diri dalam segala keadaan bahwa manusia berkewajiban untuk membela dirinya dan orang lain dari segala serangan terhadap jiwa. Termasuk hak dan kewajiban manusia untuk menjaga harta pribadinya dan harta orang lain dari semua serangan yang ditujukan terhadap harta, baik bersifat pidana maupun bukan.

d. Syarat-syarat pembelaan


1) Adanya serangan atau tindakan melawan hukum

Perbuatan yang menimpa orang yang diserang haruslah perbuatan yang melawan hukum. Apabila perbuatan tersebut bukan perbuatan yang melawan hukum, maka pembelaan atau penolakan tidak boleh dilakukan. Jadi, pemakaian hak atau menunaikan kewajiban baik oleh individu maupun penguasa, atau tindakan yang diperbolehkan oleh syara‟ tidak disebut sebagai serangan, seperti pemukulan oleh orang tua terhadap anaknya sebagai tindakan pengajaran atau pendidikan atau algojo yang melaksanakan hukuman potong tangan terhadap terhukum sebagai pelaksanaan tugas.


Menurut Imam Malik, Imam Syafi‟i dan Imam Ahmad penyerangan tidak perlu harus berupa perbuatan jarimah yang diancam dengan hukuman, tapi cukup dengan perbuatan yang tidak sah (tidak benar). Demikian pula kecakapan pembuat tidak diperlukan dan oleh karenanya serangan orang gila dan anak kecil dapat dilawan.



Menurut Imam Abu Hanifah dan murid-muridnya, serangan harus berupa jarimah yang diancam dengan hukuman dan dilakukan oleh orang yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana. Jadi, apabila perbuatan (serangan) bukan jarimah yang diancam dengan hukuman, melainkan hanya perbuatan yang tidak sah atau pelakunya tidak memiliki kecakapan maka orang yang diserang itu hanya berada dalam keadaan terpaksa. Imam Abu Yusuf berbeda dengan gurunya Imam Abu Hanifah yaitu perbuatan diisyaratkan harus berupa jarimah yang diancam dengan hukuman tetapi pelakunya tidak perlu harus orang yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana.

Pembelaan diri hanya terdapat pada orang yang diserang, bukan yang menyerang. Tetapi jika melebihi batas dalam melakukan pembelaan dirinya, kemudian orang yang pada mulanya sebagai penyerang mengadakan pembelaan diri juga, karena balasan serangan dari orang yang diserang semula sudah melampaui batas maka tindakan itu dapat dibenarkan.

2) Penyerangan harus terjadi seketika

Apabila tidak ada penyerangan seketika, maka perbuatan orang yang baru akan diserang saja merupakan perbuatan yang berlawanan dengan hukum. Pembelaan baru boleh diperbolehkan apabila benar-benar telah terjadi serangan atau diduga kuat akan terjadi. Apabila terjadi serangan yang masih ditunda seperti ancaman dan belum terjadi bahaya maka tidak diperlukan pembelaan. Tetapi jika ancaman sudah dianggap sebagai bahaya maka penolakannya harus dengan cara yang seimbang, antara lain seperti berlindung atau melaporkan adanya ancaman kepada pihak yang berwenang.

3) Tidak ada jalan lain untuk mengelakkan serangan

Apabila masih ada cara lain untuk menolak serangan maka cara tersebut harus digunakan. Jadi, jika seseorang masih bisa menolak serangan dengan teriakan-teriakan, maka tidak perlu menggunakan senjata tajam untuk melukai atau bahkan senjata api yang dapat membunuh orang yang menyerang. Apabila perbuatan tersebut telah dilakukan padahal tidak diperlukan maka perbuatan tersebut dianggap sebagai serangan dan termasuk jarimah.

Para fuqaha berbeda pendapat tentang lari sebagai cara untuk menghindari serangan. Sebagaian fuqaha menyatakan bahwa lari bisa digunakan sebagai salah satu cara untuk menghindari serangan, karena itu dianggap sebagai salah satu cara yang paling mudah, tetapi menurut sebagian fuqaha yang lain, lari bukan merupakan jalan untuk membela diri.

4) Penolakan serangan hanya boleh dengan kekuatan seperlunya

Apabila penolakan tersebut melebihi batas yang diperlukan, hal itu bukan lagi disebut pembelaan melainkan penyerangan. Dengan demikian, orang yang diserang selamanya harus memakai cara pembelaan yang seringan mungkin, dan selama hal itu masih bisa dilakukan maka tidak boleh dilakukan cara yang lebih berat.

Antara serangan dengan pembelaan terdapat hubungan yang sangat erat, karena pembelaan timbul dari serangan. Dalam perampasan harta, pembelaan belum berarti selesai dengan larinya penyerang yang membawa harta rampasannya. Dalam hal ini, orang yang diserang harus berupaya mencari dan menyelidikinya sampai berhasil mengembalikan harta yang dirampas oleh penyerang, dengan menggunakan kekuatan yang diperlukan, bahkan bila diperlukan maka boleh membunuhnya.



e. Melewati batas ukuran pembelaan diri (yang dibolehkan)

Jika seseorang melakukan pembelaan diri dengan kekuatan yang lebih besar dari kekuatan yang diperlukan, maka harus bertanggungjawab atas tindakannya itu. Contoh:

  1. Jika serangan dapat ditolak dengan mengancam si penyerang, namun orang yang diserang itu memukul si penyerang maka harus bertanggungjawab atas pemukulan tersebut.
  2. Jika serangan dapat ditolak dengan pukulan tangan namun orang yang diserang melukai si penyerang maka harus bertanggungjawab atas pelukaan itu.
  3. Jika seragan dapat ditolak dengan pelukaan, tapi orang yang diserang itu membunuh, maka harus bertanggung jawab atas pembunuhan itu.
  4. Jika si penyerang melarikan diri dan orang yang diserang mengejar lalu melukainya maka harus bertanggungjawab atas pelukaan itu.
  5. Jika perlawanan penyerang dapat dilumpuhkan, namun orang yang diserang memotong tangan atau kakinya atau membunuhnya maka harus bertanggungjawab atas tindakannya itu
Pada dasarnya pembelaan diri hukumnya mubah (dibolehkan) dan tidak ada hukumannya namun jika sampai melewati batasnya dan mengenai orang lain dengan tersalah maka perbuatannya bukan mubah lagi melainkan kekeliruan dan kelalaian si pembela diri.


Contohnya, apabila seseorang bermaksud memukul si penyerang tetapi dia tersalah karena mengenai orang lain sehingga melukai atau bahkan membunuhnya, si pembela diri harus bertanggung jawab atas pelukaan atau pembunuhan tersalah tersebut meskipun bermaksud dengan sengaja melakukan pembelaan diri. Hal ini disamakan dengan berburu binatang tapi tersalah sehingga mengenai orang lain. Berburu itu adalah perbuatan yang diperbolehkan tapi pemburu tetap bertanggungjawab atas penembakan tersalah yang mengenai manusia tersebut.



2. Pembelaan umum (Amar Ma’ruf Nahi Munkar)

Pembelaan umum artinya pembelaan untuk kepentingan umum atau menganjurkan untuk melakukan apa yang seharusnya dilakukan menurut syara’ dan mencegah apa yang seharusnya ditinggalkan.


a. Dasar hukum pembelaan umum


“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah”.



Para fuqaha berpendapat bahwa pembelaan umum atau amar ma‟ruf nahi munkar adalah suatu kewajiban yang tidak boleh ditinggalkan. Pembelaan umum diadakan dengan tujuan agar masyarakat berdiri diatas kebajikan dan pada individu-individu yang ada di masyarakat ditumbuhkan sifat keutamaan sehingga dengan demikian kapasitas jarimah dan penyelewengan akan menjadi berkurang. Akan tetapi, para fuqaha masih berbeda pendapat tentang ketentuan atau batas wajib tersebut dalam 2 hal yaitu sifat dari kewajiban tersebut, apakah wajib ain atua wajib kifayah dan tentang orang yang terkena kewajiban tersebut.



Menurut sebagian fuqaha adalah wajib ain yang dikenakan kepada setiap muslim, bahkan menurut mereka kewajiban tersebut lebih kuat dari pada kewajiban haji, karena untuk kewajiban haji disyaratkan adanya kesanggupan (istitha‟ah), sedangkan untuk pembelaan umum tidak disyaratkan kesanggupan. Para fuqaha Yang berpendapat bahwa hukum pembelaan umum hukumnya wajib kifayah berdasarkan atas firman Allah SWT

“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar merekalah orang-orang yang beruntung.


Jihad atau berperang diwajibkan atas setiap orang tetapi kewajiban menjadi tehapus jika sudah ada orang lain yang menjalankannya. Dalam ayat tersebut terdapat kalimat (waltakum minkum) yang artinya adalah hendaklah ada diantara kamu, konotasinya adalah tidak menunjukan keseluruhan umat.



Tentang orang yang diwajibkan melakukan pembelaan umum, menurut sebagian fuqaha adalah setiap orang. Tetapi menurut fuqaha lainnya yaitu hanya orang yang mempunyai kesanggupan seperti: pemuka agama atau ulama‟, dengan alasan dikhawatirkan jika dibebankan kepada setiap orang, sedangkan orang tersebut tidak mengetahui tentang hukum Islam maka bisa terjadi keadaan sebaliknya yaitu melarang kebaikan dan memerintahkan keonaran.



b. Sumber dan hukum tindakan pembelaan umum

Ma‟ruf atau kebaikan adalah setiap ucapan atau perbuatan yang perlu diucapkan atau diperbuat sesuai dengan ketentuan dan prinsip umum syari‟at Islam, seperti berakhlak mulia, berbuat baik kepada fakir dan miskin dan sebagainya. Munkar adalah setiap perbuatan yang dilarang terjadinya menurut syari‟at Islam.



Menyuruh kebaikan (amar ma‟ruf) bisa berupa perkataan seperti ajakan untuk membeantu korban gempa atau dapat berupa perbuatan seperti pemberian contoh hal yang baik kepada orang lain. Bisa juga gabungan antara perbuatan dan ucapan seperti mengajak untuk mengeluarkan zakat sekaligus mengeluarkannya. Sedangkan melarang kemungkaran (nahi munkar) bisa berupa perkataan seperti melarang orang lain minum minuman keras. Dengan

demikian, menyuruh kebaikan adalah menganjurakan untuk mengerjakan atau mengucpkan apa yang seharusnya. Sedangkan melarang keburukan adalah membujuk orang lain agar meninggalkan apa yang sebaiknya ditinggalkan.



c. Syarat-syarat pembelaan umum

Hukum pembelaan umum adalah wajib, tetapi dalam pelaksanaanya diperlukan syarat-syarat tertentu yang berkaitan dengan orang yang melaksanakannya. Syarat tersebut ada yang berkaitan dengan tabiat (sifat) kewajiban dan ada pula yang berkaitan denagn prinsip dasar syariat.

  1. Dewasa dan berakal sehat (mukalaf)
  2. Beriman
  3. Adanya kesanggupan
  4. Adil
  5. Izin (persetujuan)

d. Syarat melarang keburukan

Untuk melaksanakan amar ma‟ruf tidak diperlukan syarat khusus, karena amar ma‟ruf berupa nasihat, petunjuk dan pengajaran. Jadi, bisa dilakukan setiap saat dan kesempatan. Adapaun untuk mencegah kemungkaran maka diperlukan syarat tertentu, yaitu:

  1. Adanya perbuatan buruk atau munkar
  2. Keburukan atau kemunkaran terjadi seketika
  3. Kemunkaran itu diketahui dengan jelas

Dalam firman Allah SWT dijelaskan;

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purbasangka (kecurigaan), Karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Pemberantasan kemungkaran harus dengan cara seringan mungkin.



e. Cara memberantas kemungkaran

Apabila seseorang melakukan keburukan (kemungkaran) sedang ia tidak tahu perbuatannya adalah keburukan, cara yang baik untuk mencegahnya adalah dengan meberi penjelasan dengan sikap yang halus dan lemah lembut bahwa perbuataanya itu adalah suatu perbuatan yang buruk.

  • Penjelasan

Jika seseorang melakukan suatu perbuatan mungkar tetapi dia tidak tahu bahwa perbuatannya adalah keburukan, maka cara yang baik untuk mencegahnya adalah memberi penjelasan kepadanya bahwa perbuatannya adalah suatu perbuatan mungkar

  • Memberi nasihat dan petunjuk

Ditunjukan kepada orang yang memulai suatu perbuatan dan menyadarinya bahwa perbuatan itu adalah perbuatan munkar. Jika dengan nasihat dan petunjuk bisa diduga pelaku perbuatan tersebut akan meninggalkan kemungkaran tersebut.

  • Menggunakan kekerasan

  1. Hanya dalam keadaan darurat dan orang yang melakukan perbuatan tidak dapat diatasi dengan cara halus
  2. Orang yang menggunakan kekerasan tidak boleh mengeluarkan kata-kata yang kasar, melainkan dengan kata-kata yang baik, benar, sopan serta sesuai dengan kebutuhan

  • Mengadakan tindakan dengan tangan

Cara ini hanya berlaku pada perbuatan maksiat yang menurut tabiatnya dapat mengalami perubahan materiil dan tiak berlaku pada maksiat yang berkaitan dengan lisan dan hati. Ada 2 syarat yang diperlukan:

  1. Orang yang melakukan pemberantasan tidak perlu menggunakan tangannya sendiri, selama pelaku dapat dan bersedia mengubahnya sendiri
  2. Tindakan dengan tangan harus disesuaikan dengan kadarnya.

  • Menggunakan ancaman pemukulan dan pembunuhan

Cara ini baru tahap ancaman, bukan tindakan. Ancman tersebut harus merupakan ancaman yang bisa diwujudkan, bukan ancaman yang tidak boleh diwujudkan. Misalnya,nanti kamu saya dera atau saya pukuli dengan perkataan yang lebih keras.


  • Menggunakan pemukulan dan pembunuhan

Cara ini beleh dilakukan dalam keadaan darurat dan digunakan secara bertahap sesuai dengan keperluan. Pembunuhan hanya boleh digunakan apabila sudah tidak ada jalan lain lagi untuk memberantas perbuatan maksiat yang terjadi.

  • Minta bantuan orang lain

Apabila dengan dirinya sendiri seseorang tidak mampu untuk memberantas kemungkaran dan memerlukan bantuan orang lain dengan kekuatan dan senjatanya maka para fuqaha berbeda pendapat. Sebagian fuqaha berpendapat meminta bantuan orang lain untuk memberantas kemungkaran tidak diperbolehkan karan cara tersebut dikhawatirkan bertambah luasnya keributan dan ketidaktentraman sebab orang yang diberantas juga akan mendatangkan temannya sehingga dapat menimbulkan peperangan. Perorangan boleh menggunakan cara ini jika mendapat izin dari penguasa.



Menurut sebagian fuqaha lainnya, cara tersebut boleh digunakan tanpa memerlukan izin dari penguasa sebab cara tersebut pada hakikatnya sama dengan cara lain yang menimbulkan kemungkinan terjadinya keributan yang lebih luas. Ketujuh cara tersebut dapat digunakan terhadap siapa saja, kecuali terhadap orang tua, suami dan pihak penguasa. Dalam firman Allah SWT.

Dan Tuhanmu Telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau keduaduanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.”

SUDUT HUKUM | (http://goo.gl/qoayVR)

FANPAGE FB: Klik disini