MAZHAB HANAFI. (Dalam Buku Abu Bakar Atjeh)

MAZHAB HANAFI. (Dalam Buku Abu Bakar Atjeh)Sudut Hukum | Abu Hanifah, yang mendirikan mazhab ini, menyatakan, bahwa ia mendasarkan hukum-hukum yang ditetapkan, pertama-tama kepada Kitabullah, jika tidak diperolehnya disana, kepada Sunnah Rasul, terutama kepada Hadis-Hadis Nabi yang masyhur, kemudian barulah ia memilih mana yang ia suka dari pada ucapan-ucapan sahabat, pertamatama yang bersamaan antara beberapa orang mereka, dan kemudian juga meskipun kepada ucapan seorang sahabat saja. Ia berijtihad, jika ia sudah gagal mencari salah satu pendirian dari pada ucapan Ibrahim An-Nukhai, Asy-Syubi, Ibn Sirin, Al-Hasan dan Ibn Musayyad, barulah ia berasa dirinya berhak berijtihad memutuskan sesuatu hukum.
Acapkali Abu Hanifah menerima Hadis yang masyhur, jika ia menganggap, bahwa yang demikian itu lebih baik, lalu dinamakan Istihsan.
Diantara imam-imam mujtahid mutlak, Abu Hanifahlah yang paling banyak mempergunakan qiyas dan istihsan. Bahkan konon sampai pernah terjadi perselisihan paham pada suatu kali antara Abu Hanifah dan gurunya Ja’far Shadiq, yang berkata : Wahai Abu Hanifah tidaklah usah kita bertengkar didunia ini mengenai pendirianmu dalam menggunakan banyak qiyas dengan pendirianku yang langsung kuambil dari Kitabullah. Pada waktu Tuhan bertanya, siapa yang menetapkan hukum yang berdasarkan qiyas ini, engkau boleh menjawab : Abu Hanifah. Jika Tuhan menanyakan kepadaku, mengapa aku menetapkan hukum yang maksudnya berbeda dengan Qur’an, aku akan menjawab : ,,Ta’ sampai akalku untuk memahami wahyu itu, hanya sekedar inilah yang dapat kutetapkan” (baca Syi’ah, karangan H. Aboebakar Atjeh, Jakarta 1965).
Maka dengan demikian dasar pendirian mazhab Abu Hanifah ialah : 1. Kitabullah atau Qur’an, 2. As-Sunnah, 3. Al-Ijma’, 4. Al- Qiyas, dan 5. Al-Istihsan.
Apa artinya al-istihsan ? Menurut Hasan Sya’ab : Mengambil yang lebih adil dari pada dua buah masalah yang sama pandangan hukumnya (Al-Hiwar, „Rayi fil Ijtihad fil Islam 1966, hal. 99). Abu Hanifah adalah keturunan bangsa Persia, pekerjaannya mulamula menjadi saudagar sutera, dan oleh karena banyak waktunya yang terluang lalu ia belajar memperdalami ilmu agama Islam. Pelajarannya terutama memakai dasar ra’yi, pikiran, (ratio), dalam menerangkan ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadis Kitab yang paling banyak dipergunakan oleh pemeluk Mazhab Hanafi ini ialah „Mukhtasar” dari Khuduri.
Dalam kehidupannya beliau pernah mengajar di Kufah tentang ilmu fiqh dan juga pernah menjadi Mufti. Jabatan-jabatan yang lain banyak ditolaknya.
Ketika Khalifah Al-Mansur mendirikan kota Bagdad (767 -771) ia turnt bekerja dalam usaha pembangunan kota itu. Kharbar tentang kematiannya bermacam-macam. Yang satu menerangkan, bahwa ia itu menolak jabatan qadhi yang ditawarkan kepadanya, lalu ia dimasukkan kedalam penjara dan dipukuli atas perintah Al-Mansur. Yang lain menerangkan, bahwa Al-Mahdi, putera Al-Mansurlah yang memerintahkan ia dimasukkan penjara, karena tidak mau bekerja bersama-sama memangku jabatan hakim agama.
Dan yang lain lagi menerangkan, bahwa alasan memasukkan Abu Hanifah kedalam penjara karena tidak mau menjadi qadhi itu, hanyalah sebagai camouflage saja, tetapi yang sesungguhnya karena beliau disangka menyebelah kepihak Ali dan membantu dengan kekayaan kepada Ibrahim ibn Abdullah, yang menimbulkan pemberontakan di Kufah dalam tahun 767.
Sesudah tahun 786 mulai Mazhab Hanafi dikenal orang di Mesir, karena pada waktu itu telah diangkat oleh Khalifah Al-Mahdi seorang Qadhi Hanafi disana, yaitu Ismail bin Yasa’ Al-Kufi. Dialah yang mula-mula mengembangkan mazhab Hanafi disana, terutama selama kerajaan Islam berada dalam kekuasaan Khalifah-Khalifah Abbasiyah, berangsur-angsur mazhab ini berkembang dikota Mesir.
Tatkala Mesir dikuasai oleh raja-raja Fathimiyah, masuk pula kesana mazhab ini tersiar karenanya, tetapi juga kedudukan qadhi dipengaruhi oleh mazhab itu. Malah pernah mazhab Syi’ah itu menjadi mazhab kerajaan dengan resmi. Yang dijalankan oleh Pemerintah waktu itu hukum-hukum mazhab ini, kecuali dalam soal-soal ibadah, masih bebas menjalankannya menurut cara masing-masing.
Sebaliknya sesudah pemerintah Mesir kembali kedalam tangan (Ayyubi), yang sulthan-sulthannya bermazhab Syafi’i, lalu mereka tindas mazhab Syi’ah itu dengan segala aliran-aliran yang berbau Syi’ah. Tidak hanya sekian saja, malah mereka mendirikan beberapa banyak sekolahan untuk ulama-ulama mazhab Syafi’i dan Maliki.
Salahuddin Al-Ayyubi mendirikan di Cairo sebuah sekolah untuk mazhab Hanafi, bernama Madrasah As-Salahiyah. Sejak ketika itu bertambah kuatlah kedudukan mazhab ini ditengah-tengah kota Cairo. Pada tahun 1263 oleh Najamuddin Ayyub disusun pelajaran-pelajaran empat, yaitu Syafi’i, Hanafi, Maliki dan Hambali, sebagai tindakan untuk membasmi segala aliran-aliran mazhab yang lain. Rancangan pelajaran ini berjalan dengan baik dalam Madrasah Salahiyah di Cairo.
Setelah Mesir jatuh kedalam kekuasaan kerajaan Turki, maka kedudukan qadhi dan kehakiman tetap kembali dalam tangan pemeluk mazhab Hanafi. Karena mazhab Hanafi telah menjadi mazhab yang resmi dari kerajaan (Usmaniyah) Turki dan pembesar-pembesarnya, lalu timbullah keinginan kebanyakan penduduk hendak menjadi Hanafi, supaya mudah mendapat pangkat qadhi. Meskipun begitu mazhab ini tidaklah demikian tersebar kedesa-desa dan kehulu-hulu Mesir, tetapi terbatas didalam kota saja. Begitu corak daerahnya, penduduk desa hulu Mesir tetap bermazhab Syafi’i.
Mazhab Hanafi ini terdapat juga di Algeria, Tunisia dan Trablus (Tripoli). Selanjutnya pemeluknya banyak terdapat di Syam, Iraq, India, Afganistan, Turkestan, Kaukasus, Turki, Balkan. Pengikutnya di India ditaksir kira-kira 48 milyun jiwa, di Brazilia (Amerika Selatan) terdapat kira-kira 25 ribu jiwa.

Adapun Abu Hanifah An-Nu’man As-Tsabit, yang mendirikan Mazhab Hanafi itu lahir dalam tahun 699 M. di Kufah dan meninggal di Bagdad pada tahun 772 M .