Pengertian dan Dasar Hukum Wewenang Mahkamah Konstitusi Memutus Perselisihan tentang Hasil Pilkada

Sudut Hukum | Pengertian dan Dasar Hukum Wewenang Mahkamah Konstitusi Memutus Perselisihan tentang Hasil Pilkada

Pilkada adalah singkatan dari pemilihan kepala daerah. Berdasarkan Pasal 1 ayat (4) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum ditegaskan bahwa “Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah pemilu untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Dari ketentuan UU No. 22 Tahun 2007 tersebut, pilkada ditempatkan ke dalam rezim (wilayah) pemilihan umum. Sementara, menurut ketentuan pemilihan umum yang diatur di dalam Bab VIIB tentang Pemilihan Umum pasal 22E ayat (2) UUD 1945 disebutkan bahwa “Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.” Jadi sebenarnya semula pemilihan umum itu dilakukan untuk memilih pemimpin secara nasional yang meliputi pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dan pemilihan legislatif. Tetapi, meskipun Pasal 22E ayat (2) UUD 1945 di atas tidak menyebutkan Kepala daerah dan Wakil Kepala Daerah pemilihannya sebagai bagian dari penyelenggaraan pemilu, namun ketentuan UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu menempatkan pilkada masuk ke dalam rezim (wilayah) pemilihan umum.
Pilkada merupakan mekanisme demokrasi dalam rangka rekruitmen pemimpin di daerah di mana rakyat secara menyeluruh memiliki hak dan kebebasan untuk memilih calon-calon yang didukungnya.[1] Penulis memahami pilkada sebagai salah satu fenomena yang ada di dalam sistem demokrasi negara Indonesia yang merupakan agenda pemerintah bagi masyarakat daerah untuk menentukan pemimpinnya sendiri. Merujuk pada kriteria-kriteria tersebut, maka pilkada juga bisa diartikan sebagai pemilihan umum bagi masyarakat daerah untuk memilih pemimpinnya sendiri.
suduthukum.com/

Pemilihan tersebut memerlukan perangkat lain untuk mendukung prosesnya, termasuk perangkat hukum (lembaga hukum) yang dapat mengadili apabila terjadi perselisihan tentang hasil pilkada. Mekanisme pemerintahan seperti itu harus dilakukan dengan tata cara yang demokratis pula. Penyelenggaraan pemerintahannya harus dijalankan secara demokratis yang antara lain meliputi tata cara penunjukan pejabat, penentuan kebijakan, pertanggungjawaban, pengawasan, sampai penentuan tentang siapa yang akan mengadili apabila terjadi perselisihan tentang hasil pemilihan kepala daerah.
Perselisihan tentang hasil pemilihan kepala daerah adalah perselisihan antara pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagai peserta pilkada dan KPU provinsi dan/atau KPU kabupaten/kota sebagai penyelenggara pemilu. Yang diperselisihkan adalah penetapan penghitungan suara hasil pemilihan kepala daerah yang ditetapkan oleh KPU provinsi atau KPU kabupaten/kota yang mempengaruhi penentuan calon untuk masuk ke putaran kedua pilkada atau terpilihnya pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah.[2]
Perselisihan tentang hasil pemilihan kepala daerah semula menjadi kewenangan MA untuk memutus dan mengadili, namun kemudian kewenangan tersebut dialihkan ke MK yang pada dasarnya kewenangan MK adalah memutus perselisihan tentang hasil penghitungan suara pemilihan umum yang sifatnya nasional. Berdasarkan ketentuan Pasal 79 UU No. 8 Tahun 2011 tentang MK, kewenangan memutus Perselisihan tentang Hasil Pemilihan Umum (PHPU) meliputi PHPU Presiden dan Wakil Presiden dan PHPU Legislatif yaitu anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Dan berdasarkan Pasal 74 ayat (2) UU No. 8 Tahun 2011 tentang MK, Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) adalah perselisihan antara peserta pemilu (perseorangan calon anggota DPD, pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden, atau parpol) dan KPU sebagai penyelenggara pemilu; yang diperselisihkan adalah penetapan perolehan suara hasil pemilu secara nasional oleh KPU; dan perselisihan penetapan perolehan suara hasil pemilu secara nasional yang dimaksud harus mempengaruhi terpilihnya calon anggota DPD, penentuan terpilihnya pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden atau penentuan untuk dipilih kembali pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden putaran kedua, atau perolehan kursi parpol peserta pemilu di suatu daerah pemilihan.
Namun setelah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah diundangkan, kewenangan MK ditambah lagi yaitu memutus perselisihan tentang hasil pilkada yang semula merupakan kewenangan MA. Pasal 236C UU No. 12 Tahun 2008 tersebut menyatakan “Penanganan perselisihan hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh Mahkamah Agung dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi paling lama 18 (delapan belas) bulan sejak Undang-Undang ini diundangkan”. Jadi, sejak dikeluarkannya UU No. 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah, kewenangan memutus perselisihan tentang hasil pilkada yang semula merupakan kewenangan MA dialihkan ke MK. Sehingga pada tanggal 29 Oktober 2008, Ketua MA Prof. Dr. Bagir Manan dan Ketua MK Prof. Dr. Moh. Mahfud MD menandatangani berita acara pengalihan wewenang memutus perselisihan tentang hasil pilkada melalui nota kesepahaman antara MA dan MK sebagai pelaksanaan amanat UU No. 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah.
Jadi, kewenangan MK dalam memutus perselisihan tentang hasil pilkada merupakan kewenangan yang baru dimiliki oleh MK karena sebelumnya merupakan kewenangan yang dimiliki oleh MA. Yang menjadi perbincangan dan perdebatan di masyarakat adalah mengenai kontitusional atau tidaknya pengalihan wewenang memutus perselisihan tentang hasil pilkada dari MA ke MK tersebut. Untuk dapat dikatakan sebagai konstitusional, maka harus ada ketentuannya di dalam UUD 1945 sebagai konstitusi negara. Konstitusi sebagai dasar hukum yang tertinggi dibentuk atas dasar kesepakatan rakyat sehingga konstitusi haruslah mempunyai nilai-nilai demokrasi. Sebab, suatu konstitusi yang baik harus menjamin kedaulatan hukum yang mengedepankan demokrasi. Pemilu berhubungan erat dengan demokrasi karena sebenarnya pemilu merupakan salah satu cara pelaksanaan demokrasi.[3]
Pilkada merupakan mekanisme demokrasi dalam rangka rekruitmen pemimpin di daerah di mana rakyat secara menyeluruh memiliki hak dan kebebasan untuk memilih calon-calon yang didukungnya. Seperti halnya Pemilu yang juga merupakan mekanisme demokrasi dalam rangka rekruitmen pemimpin, namun secara nasional, di mana rakyat secara menyeluruh juga memiliki hak dan kebebasan untuk memilih calon-calon pemimpin nasional yang didukungnya. Sebagai bagian dari demokrasi, pilkada bersumber dan berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Di dalam UUD 1945 menjelaskan bahwa Negara Indonesia merupakan Negara demokrasi yang mempunyai kedaulatan di tangan rakyat sekaligus sebagai Negara dengan kedaulatan hukum. Hal ini ditegaskan di dalam pasal 1 ayat (2) yang menyatakan, “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang- Undang Dasar.”
Landasan konstitusional MK dalam melaksanakan kewenangannya memutus perselisihan tentang hasil pemiliham umum adalah Pasal 24C UUD tahun 1945 dan landasan hukum lainnya adalah Pasal 10 ayat (1) huruf d, Pasal 74, dan 79 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Namun karena kewenangan MK memutus perselisihan tentang hasil pilkada tidak disebutkan secara eksplisit di dalam UUD 1945 maka kewenangan tersebut tidak berdasarkan landasan konstitusional, tetapi memiliki landasan hukum lain yaitu berdasarkan Pasal 1 ayat (4) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007, Pasal 106 ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 236C Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, Pasal 4 PMK Nomor 15 Tahun 2008, dan berita acara pengalihan wewenang mengadili dari MA kepada MK tanggal 29 Oktober 2008.


[1] Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Yogyakarta: FH UII Press, Cet. Ke-3, 2004, h. 59.

[2] Ahmad Fadlil Sumadi, “Hukum Acara Mahkamah Konstitusi,” Disampaikan pada acara Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) yang diselenggarakan atas kerjasama Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang dengan Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) pada Kamis, 24 Januari 2013 di Hotel Kencana, Bandungan, Semarang, h. 19-21.

[3] Moh. Mahfud MD, Hukum dan Pilar-pilar Demokrasi, Yogyakarta: Gama Media, 1999, h. 220.